MNET Sekarang Meluncurkan Sebuah Buku Kisah Yang Sangat Nyata Masalah Seperti Eksploitas Pelecehan Pekerja Migran di Taiwan -->

MNET Sekarang Meluncurkan Sebuah Buku Kisah Yang Sangat Nyata Masalah Seperti Eksploitas Pelecehan Pekerja Migran di Taiwan



DETIKBMI.COM - Sebuah buku yang baru-baru ini diterbitkan memberikan kesempatan bagi para pekerja migran di Taiwan untuk menyuarakan kisah mereka tentang aksi eksploitasi dan kasus pelecehan yang dilakukan oleh pihak agensi swasta di Taiwan. 

Dalam konferensi pers yang digelar di Taipei pada hari Sabtu (28/12), buku yang berjudul "Buku Cerita Pekerja Migran tentang Agen Ketenagakerjaan," tersebut 

Diterbitkan oleh Jaringan Pemberdayaan Migran di Taiwan (MENT). Pihak MENT mengeksplorasi akun kehidupan nyata dari 15 pekerja migran yang diduga dilecehkan dan dieksploitasi oleh agensi mereka saat bekerja di negara kepulauan itu. 

Salah satu penulis, yang diidentifikasi hanya sebagai Wiwin, seorang pekerja migran berusia 24 tahun yang berasal dari Indonesia, mengatakan bahwa ayahnya menggadaikan padinya seharga US$ 1.824 (hampir mencapai NT$ 55.000) sehingga ia dapat membayar biaya sebesar USS 1.672 (sekitar NT$ 50.300) kepada agen tenaga kerja di Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan di pabrikTaiwan. 

Setelah masalah dengan dokumennya dimana agensi swasta di Indonesia mendaftarkan Wiwin sebagai pengasuh, agensi di Taiwan masih berupaya untuk mengatur agar tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia itu bisa bekerja di sebuah pabrik lokal di Taiwan. 

Akan tetapi kondisinya cukup kejam."saya tidak pernah membayangkan bahwa para agensi di Indonesia dan Taiwan bisa melakukan hal ini kepada saya. Saya akhirnya bekerja dengan jam kerja yang tak masuk akal, yaitu darijam 5 pagi sampai 11 malam," kata Wiwin. 

Dalam buku itu, Wiwin mengatakan dia menerima gaji bulanan sebesar USS 550 (atau setara dengan NT$ 16.546). 

Namun ia tetap harus bekerja lembur setiap shift untuk memanggang semua lembaran-lembaran tahu yang dibuat dari kacang kedelai yang ia buat pada siang hari sebelum dia diperbolehkan pulang. 

"Pekerjaan di pabrik itu tidak manusiawi dan pihak agensi juga tidak menunjukkan tanggung jawab atas kesejahteraan saya," kata Wiwin. "Jika saya memberi tahu mereka masalah saya, mereka hanya akan memberitahu saya untuk kembali ke Indonesia." 

Tetapi dengan hutang yang diakumulasikan oleh ayahnya agar dia bisa tiba dan bekerja ke Taiwan, Wiwin mengatakan bahwa kembali ke Indonesia bukanlah pilihan yang tepat baginya. 

Setelah bekerja di pabrik selama dua tahun, dia meminta bantuan di sebuah LSM dimana mereka membantunya melaporkan kasusnya ke Badan Imigrasi NasionalTaiwan. 

Wu Jing-ru, seorang peneliti di Asosiasi Pekerja Internasional Taiwan, mengatakan kepada CNANews bahwa Wiwin dibantu oleh sebuah LSM di bawah jaringan MENT, sebuah koalisi dari sekitar 10 kelompok pembela hak-hak pekerja migran. 

Dia sekarang sementara bekerja di pekerjaan lain sementara kasusnya sedang  diselidiki oleh pihak berwenang Taiwan Wu tidak mengungkapkan lokasi bekas pabrik Wiwin bekerja. la hanya mengatakan bahwa pabrik itu terletak di wilayah Taiwan bagian utara. 

Gracie Liu, direktur Pusat Layanan Migran dan Imigran distrik Hsinchu, mengatakan bahwa kisah Wiwin adalah satu dari banyak kisah pilu pekerja migran di Taiwan yang tertulis di buku itu. 

Buku ini membutuhkan waktu lebih dari setahun untuk menulis dan menyusun seluruh kasus miris yang benarbenar terjadi dan menimpa para pekerja migran di Taiwan dan telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa, yakni bahasa Mandarin, Inggris, Indonesia, Filipina,Vietnam dan Thailand. 

Sebelum buku itu secara resmi diluncurkan pada hari Sabtu, versi Mandarin buku tersebut telah diserahkan kepada perwakilan dari oposisi utama Kuomintang (KMT) dan Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa selama aksi demo yang diselenggarakan oleh MENT pada tanggal 8 Desember lalu di Taipei. 

Aksi demonstrasi ini menyerukan partai-partai politik besar di Taiwan untuk membantu menghapuskan sistem perantara atau agensi pekerjaan yang berlaku saat ini untuk pekerja migran asing yang ingin bekerja di negeri Formosa. 

Wang Yu-wen, seorang calon legislatif KMT dan penyelenggara Aliansi Kesejahteraan Buruh Taiwan yang menerima buku itu, mengatakan ia belum membacanya tetapi ia menegaskan kembali fakta bahwa ia berkomitmen untuk membantu dan membela hak-hak para pekerja migran di Taiwan. 

Sementara itu, pihak DPP, yang telah berkuasa selama empat tahun terakhir, mengatakan saat ini mereka tidak memiliki rencana terkait dengan masalah pekerja migran dengan pemilihan presiden dan legislative pada bulan Januari 2020 mendatang. 

Akan tetapi diskusi akan diadakan dengan pihak Kementerian Tenaga Kerja (MOL) Taiwan setelah pemilihan umum untuk mengambil langkah-langkah yang tepat terkait kasus ini. Menurut data statistik MOL Taiwan, sebanyak 275.715 pekerja migran dipekerjakan melalui agensi pada tahun 2017. 

Sedangkan sebanyak 242.021 pekerja migran lainnya dipekerjakan melalui sistem agensi pada tahun 2018. Akan tetapi hanya sebanyak 10.302 pekerja migran dan 9.061 pekerja migran yang dipekerjakan melalui perekrutan langsung masing-masing pada tahun 2017 dan 2018 lalu. 

Salah satu alasan mengapa sistem agensi digunakan dan dipilih oleh lebih banyak pekerja migran adalah bahwa pihak agensi dapat menangani semua prosedur dan dokumen yang diperlukan untuk pekerja migran untuk tetap berada di Taiwan, menurut keterangan pihak MOL Taiwan. 

Hal ini juga membantu perusahaan atau majikan menyaring dan memilih pekerja yang sesuai di negara mereka sebelum para pekerja migran datang ke Taiwan, suatu proses yang tidak dapat ditangani oleh banyak perusahaan lokal. 

Hingga saat ini, sebanyak 718.186 pekerja migran yang berasal dari Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Filipina dipekerjakan di Taiwan, terutama sebagai pekerja pabrik, pengasuh dan pembantu rumah tangga, menurut statistik MOL pada akhir November 2019. 

Sumber : CNANews 

LihatTutupKomentar